![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgdd7VlX8wEql2NdAZfHYkF079NWoqcuI8m_WzMdnJtF2aj9ziCFq79rhE1T9KggEeYzIEp0RSPSvQSTqyeFHljLiHrT5oXeObFviY4u1R7ulBs_N_nWChVighyEtSuA1S7v4vQXOUU2nY/s1600/airplane.gif)
KEMENTRIAN Perhubungan (Kemenhub) membekukan 61 penerbangan dari lima maskapai yang melanggar izin penerbangan. Sanksi tersebut diberikan berdasar atas hasil audit investigasi yang dilakukan Inspektorat Jenderal Kemenhub. Selain itu, sebelas pejabat Kemenhub yang dianggap lalai terkena sanksi mutasi dan penonaktifan.
Kepastian itu disampaikan Menteri Perhubungan (Menhub) Ignasius Jonan dalam konferensi pers di lantai 7 Ruang Kutai, Gedung Karsa, Kantor Kemenhub, Jumat lalu (9/1). Menurut Jonan, Kemenhub sudah mengumpulkan data-data pelanggaran di lima otoritas bandara. Yakni, Bandara Soekarno-Hatta Jakarta, Juanda Surabaya, Kualanamu Medan, Hasanuddin Makassar, dan Ngurah Rai Denpasar. Hasilnya, terdapat 61 penerbangan yang tidak berizin seperti kasus penerbangan AirAsia QZ8501 rute Surabaya–Singapura. Sebanyak 61 penerbangan tersebut dilakukan lima maskapai. Antara lain, Garuda Indonesia 4 pelanggaran, Wings Air (18), Trans Nusa (1), serta Susi Air (3). Satu lagi, Lion Air dengan 35 pelanggaran (Jawa Pos, 10 Januari 2015).
Ilegalitas izin penerbangan itu layak ditempatkan sebagai bentuk pelanggaran serius hak asasi manusia (HAM). Pasalnya, akibat pelanggaran atau ’’kejahatan birokrasi’’ di ranah penerbangan tersebut, konsumen dirugikan –tingkat kerugiannya tergolong berat. Korban nyawa secara masal dapat terjadi akibat kesemrawutan lalu lintas udara yang berakar dari kriminogen dengan bobobroknya birokrasi penerbangan.
Kasus AirAsia QZ8501 menjadi bukti bahwa dunia penerbangan dapat menjadi ’’area’’ pelanggaran serius HAM. AirAsia QZ8501 membuka mata masyarakat dan elemen negara yang menyukai kejujuran dan kebenaran bahwa terdapat praktik kriminalitas khusus yang dilakukan birokrasi dan korporasi penerbangan.
HAM, sebagaimana dikemukakan Jan Materson (dari Komisi Hak Asasi Manusia PBB) merupakan hak-hak yang melekat pada manusia yang tanpa itu manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Menurut Baharuddin Lopa, pada kalimat ’’mustahil dapat hidup sebagai manusia’’ hendaklah diartikan ’’mustahil dapat hidup sebagai manusia yang bertanggung jawab’’. Alasan ditambahkan kata ’’tanggung jawab’’ itu bahwa selain memiliki hak, manusia mempunyai tanggung jawab atas segala yang dilakukannya.
Karena negara itu dipilari manusia-manusia sebagai ’’wakilnya’’, mereka mempunyai peran yang bernama tanggung jawab dan bukan sebatas menerima hak. Taggung jawab itu berelasi dengan kewajiban yang harus ditunjukkan. Jika kewajiban tersebut konsisten dilaksanakan, berbagai bentuk pelanggaran hak terhadap warga negara, baik yang dilakukan secara individual maupun korporatif, bisa dipertanggungjawabkan.
Salah satu peran negara yang digariskan konstitusi adalah menjaga, melindungi, atau menyelamatkan hak-hak asasi manusia. Salah satu hak prioritas yang wajib dilindungi negara adalah hak hidup konsumen yang menggunakan jasa penerbangan.
Kalau hak hidup warga atau konsumen sering terancam dan dijadikan objek permainan kalangan pebisnis atau korporasi nasional atau global di lini penerbangan, yang mengakibatkan ratusan orang kehilangan nyawa, memang sudah seharusnya negara bertindak tegas, baik kepada pejabat (birokrat) yang mendapat amanat mengawal perusahaan penerbangan maupun pemilik perusahaan penerbangan.
Jika penerbangan itu milik maskapai asing, negara melalui aparat penegak hukum maupun Kementerian Perhubungan berkewajiban secepatnya turun tangan, berkoordinasi dengan negara yang ’’merestui’’ (melisensi) pendirian dan operasionalisasi maskapai tersebut. Agresivitas negara dalam mengawal korporasi yang ’’menjagal’’ hak keberlanjutan hidup konsumen penerbangan akan membuat kredibilitasnya terjaga baik di mata negara dan korporasi asing.
Kesejatian keberlanjutan perluindungan hak hidup warga memang wajib dinomorsatukan oleh negara jika dibandingkan dengan pertimbangan kepentingan aspek ekonomi. Hak keselamatan dan keberlanjutan hidup tidak bisa dinilai dengan besaran jumlah uang meski besaran asuransi yang direalisasikan oleh korporasi penerbangan juga menjadi wujud perlindungan hak. Pasalnya, hak keselamatan dan keberlanjutan hidup merupakan hak sakral yang membuat konsumen bermakna.
Di Piagam Universal Hak Asasi Manusia yang dikenal dengan UDHR (Universal Declaration of Human Rights) juga diatur tentang hak keselamatan dan hidup manusia. Mengenai hak hidup dan keselamatan disebutkan dalam pasal 3 bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, bebas merdeka, dan keamanan (keselamatan) sebagai individu.
Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia juga menyebutkan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut berdasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Sedangkan pasal 28a secara khusus menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya .
Pasal 4 (2) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) secara khusus mengatur bahwa dalam emergency sekalipun, tidak diperbolehkan adanya penundaan atau pengurangan terhadap hak-hak tertentu. Hak-hak itu sebagaimana dicantumkan dalam beberapa pasal dalam ICCPR yang mengatur mengenai right to life, hak untuk tidak disiksa, tidak diperlakukan kejam dan merendahkan, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk tidak dipenjara hanya karena ketidakmampuan memenuhi kontrak, hak untuk tidak dipidana berdasarkan hukum yang berlaku surut, hak atas pengakuan di muka hukum, dan hak berkeyakinan dan beragama.
Instrumen HAM itu menunjukkan bahwa negara mana pun terikat kewajiban untuk melindungi keselamatan atau hak hidup warganya. Negara mempunyai kewajiban aktif untuk memberikan perlindungan atau pengadvokasian terhadap hak keberlanjutan hidup warganya. Itu berarti negara tidak boleh membiarkan hak keberlanjutan hidup warganya terancam. Di dalam Piagam Universal Hak Asasi Manusia yang dikenal dengan UDHR (Universal Declaration of Human Rights) juga diatur tentang hak keselamatan dan hidup manusia. Mengenai hak hidup dan keselamatan disebutkan dalam pasal 3 bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, bebas merdeka, dan keamanan (keselamatan) sebagai individu.
Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia juga menyebutkan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut berdasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Sedangkan pasal 28a secara khusus menyebut, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya .
Garis konstitusi itu tidak dapat dilepaskan dari perjanjian internasional HAM yang mengatur tentang non-derogable rights alias hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. A) Pasal 4 (2) ICCPR secara khusus mengatur bahwa dalam emergency sekalipun, tidak diperbolehkan adanya penundaan atau pengurangan terhadap hak-hak tertentu. Hak-hak ini sebagaimana dicantumkan dalam beberapa pasal dalam ICCPR yang mengatur mengenai right to life, hak untuk tidak disiksa, tidak diperlakukan kejam dan merendahkan, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk tidak dipenjara hanya karena ketidakmampuan memenuhi kontrak, hak untuk tidak dipidana berdasarkan hukum yang berlaku surut, hak atas pengakuan di muka hukum, dan hak berkeyakinan dan beragama.
B) Instrumen HAM itu menunjukkan bahwa negara mana pun terikat kewajiban untuk melindungi keselamatan atau hak hidup warganya. Negara mempunyai kewajiban untuk aktif memberikan perlindungan atau pengadvokasian terhadap hak keberlanjutan hidup warganya. Itu berarti negara tidak boleh membiarkan hak keberlanjutan hidup warganya terancam.
Semestinya tindak pidana yang dilakukan para birokrat nakal di sektor penerbangan itu bukan hanya dikenai sanksi pemutasian atau penon-aktifan, tetapi juga diikuti proses hukum, misalnya peradilan pidana penerbangan, yang memberikan sanksi lebih berat, baik di bidang pendendaan maupun pemenjaraan.
Cara mengatasi nya :
-Setiap keamanan penerbangan agar di buat lebih ketat agar penerbangan di luar jadwal penerbangan tidak terjadi lagi dan tidak menimbulkan masalah yang tidak di ingin kan......
-Jangan terus melakukan kebohongan dan menutupi kebohongan dengan kebohongan lain….
sumber : http://www.jawapos.com/baca/opinidetail/11359/Pelanggaran-HAM-Izin-Penerbangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar