WELCOME

WELCOME

Rabu, 14 Januari 2015

Pelanggaran Maskapai Penerbangan


KEMENTRIAN Perhubungan (Kemenhub) membekukan 61 penerbangan dari lima maskapai yang melanggar izin penerbangan. Sanksi tersebut diberikan berdasar atas hasil audit investigasi yang dilakukan Inspektorat Jenderal Kemenhub. Selain itu, sebelas pejabat Kemenhub yang dianggap lalai terkena sanksi mutasi dan penonaktifan.
Kepastian itu disampaikan Menteri Perhubungan (Menhub) Ignasius Jonan dalam konferensi pers di lantai 7 Ruang Kutai, Gedung Karsa, Kantor Kemenhub, Jumat lalu (9/1). Menurut Jonan, Kemenhub sudah mengumpulkan data-data pelanggaran di lima otoritas bandara. Yakni, Bandara Soekarno-Hatta Jakarta, Juanda Surabaya, Kualanamu Medan, Hasanuddin Makassar, dan Ngurah Rai Denpasar. Hasilnya, terdapat 61 penerbangan yang tidak berizin seperti kasus penerbangan AirAsia QZ8501 rute Surabaya–Singapura. Sebanyak 61 penerbangan tersebut dilakukan lima maskapai. Antara lain, Garuda Indonesia 4 pelanggaran, Wings Air (18), Trans Nusa (1), serta Susi Air (3). Satu lagi, Lion Air dengan 35 pelanggaran (Jawa Pos, 10 Januari 2015).
Ilegalitas izin penerbangan itu layak ditempatkan sebagai bentuk pelanggaran serius hak asasi manusia (HAM). Pasalnya, akibat pelanggaran atau ’’kejahatan birokrasi’’ di ranah penerbangan tersebut, konsumen dirugikan –tingkat kerugiannya tergolong berat. Korban nyawa secara masal dapat terjadi akibat kesemrawutan lalu lintas udara yang berakar dari kriminogen dengan bobobroknya birokrasi penerbangan.
Kasus AirAsia QZ8501 menjadi bukti bahwa dunia penerbangan dapat menjadi ’’area’’ pelanggaran serius HAM. AirAsia QZ8501 membuka mata masyarakat dan elemen negara yang menyukai kejujuran dan kebenaran bahwa terdapat praktik kriminalitas khusus yang dilakukan birokrasi dan korporasi penerbangan.
HAM, sebagaimana dikemukakan Jan Materson (dari Komisi Hak Asasi Manusia PBB) merupakan hak-hak yang melekat pada manusia yang tanpa itu manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Menurut Baharuddin Lopa, pada kalimat ’’mustahil dapat hidup sebagai manusia’’ hendaklah diartikan ’’mustahil dapat hidup sebagai manusia yang bertanggung jawab’’. Alasan ditambahkan kata ’’tanggung jawab’’ itu bahwa selain memiliki hak, manusia mempunyai tanggung jawab atas segala yang dilakukannya.